Ketika Cinta tak mampu Terhapus oleh Maut

Topik Pilihan :

Sudah tak asing rasanya mendengar potongan kalimat cinta yang menyatakan "..hingga maut memisahkan.." Namun apa yang dilakukan oleh lelaki tua ini membuktikan bahwa cinta itu bisa tetap selalu hidup meski maut telah memisahkan dia dengan pasangan hidupnya.

Sudah lebih dari 4.000 hari lamanya sejak dia ditinggal mati oleh istri tercintanya. Dan sejak kematian istrinya tersebut, lelaki tua ini masih tetap setia mengunjungi makam istrinya ... setiap hari.

Chan Yung Tong, meski usianya sudah lebih dari 80 tahun, cintanya ternyata tak pernah habis dimakan usia. Mungkin hanya rerumputan yang menjadi rata dengan tanah pemakaman Royal Oak yang bisa membuktikannya, tempat dimana dia selalu berdiri di samping makam istrinya setiap hari, tepat seperti janjinya sebelum kematian istrinya itu di tahun 2001 silam.

"Saya datang setiap hari," katanya, sambil bersandar dengan tongkatnya ke atas bukit ke taman pemakaman. Dia selalu rutin datang ke pemakaman ini, kecuali beberapa kali dikarenakan ia sakit sakit atau ketika ia tidak mendapatkan bus yang membawanya dari Esquimalt.

Mengapa?

"Karena aku mencintainya."

Memang awalnya tidaklah sesederhana itu. Chan dan Katima Amy Ismail sebelumnya memang tidak pernah membayangkan akhir dari pertemuan yang terjadi di antara mereka ketika bekerja di sebuah perusahaan pelayaran Hong Kong di tahun 1957.

Latar belakang mereka berdua jelas berbeda. Katima adalah sekretaris kesayangan bos, sementara Chan bekerja serabutan sebagai tukang membersihkan parit. Katima adalah seorang muslim, keturunan seorang pria asal India yang bekerja di Angkatan Darat kerajaan Inggris selama Perang Candu berlangsung. [Chan tidak berpindah keyakinan, meski hingga kini ia tak pernah lagi makan daging babi].


Suatu hari, ketika Chan membaca sebuah surat kabar, ia menyatakan ketertarikannya untuk menonton sebuah film di bioskop setempat. Tak disangka, ternyata Katima memiliki minat yang sama untuk menonton film tersebut. Mereka berdua akhirnya sepakat berangkat bersama, meski kala itu Katima mengaku sempat terkejut ketika diminta untuk membayar sendiri tiketnya seharga $2,40 (sekitar Rp.25.000)

Sejak hari itu, hubungan antara keduanya menjadi semakin dekat, hingga sebulan kemudian keduanya mulai berani saling berpegangan tangan. Dan itu pun terjadi karena keduanya saat itu berjalan di sebuah trotoar yang licin terkena air hujan, hingga Katima akhirnya memberanikan diri untuk memegang tangan Chan agar tak terjatuh. Mereka pun akhirnya menikah pada 11 Maret 1959.

Sayang, sebuah operasi (yang tak dijelaskan sebabnya) yang sempat dijalani oleh Katima membuatnya tak bisa mendapatkan keturunan. Tapi kenyataan itu tak merubah rasa cinta di antara keduanya. Keduanya malah mengisi kekosongan di antara mereka dengan melakukan perjalanan berkeliling Eropa, Asia serta serangkaian perjalanan lainnya ke Victoria, di mana Chan memiliki seorang adik perempuan yang tinggal disana. Lalu ketika Chan memutuskan untuk pindah dan menetap di Kanada, meski awalnya Katima menolak dengan alasan dia tidak suka tempat yang berhawa dingin, namun dengan setianya ia tetap mau mengikuti langkah Chan untuk tetap pindah ke Kanada.

Jauh dari keluarga serta kampung halaman, mungkin itu pula yang menjadikan keduanya bagai tak lagi dapat terpisahkan, hingga maut menjemput Katima pada tanggal 6 Oktober 2001, hari dimana jantung Katima akhirnya berhenti berdetak. Di saat-saat terakhirnya di Rumah Sakit Royal Jubilee, Chan sempat bertanya pada Fatima sesaat sebelum meninggal, "Kamu membenci saya?" Katima menggeleng, tidak. "Kamu mencintaiku?" dan dijawab dengan sebuah anggukan oleh Katima, ya.

"Ketika dia meninggal, saya masih menggenggam tangannya," kata Chan sambil menarik-narik topi hijaunya. "Saya masih selalu merindukannya."

Chan sebenarnya adalah seorang pribadi yang agak tertutup. Dia enggan untuk selalu terus menceritakan kisah hidup yang pernah dijalaninya. Kebiasaanya setiap hari berkunjung ke makam istrinya sudah tak lagi asing bagi pekerja di pemakaman tersebut. Demikian juga dengan sopir bus yang melayani rute no.6, rute bus yang selalu ditumpangi Chan untuk bisa sampai di pemakaman tersebut.

Cedera akibat terjatuh sudah tak lagi asing bagi Chan. Sudah sekitar tiga kali ia terjatuh dalam dua musim dingin terakhir, ketika ia harus menempuh jarak sekitar setengah jam berjalan kaki dari halte bus ke pemakaman istrinya itu. Meski terus bertambah usia, Chan menyatakan bahwa ia hanya takut sakit, karena kini tak ada lagi yang mempedulikannya, tapi ia tak takut menghadapi kematian itu sendiri.

Chan mungkin berharap bisa berkumpul kembali dengan Katima, seorang wanita yang tak pernah mengeluh tentang apapun juga. Atau mungkin selama ini pun keduanya memang tak pernah terpisahkan. Seorang pengunjung pemakaman bercerita bahwa ia sempat melihat ada seorang wanita yang berdiri menyertai Chan ketika berdiri di samping makam istrinya itu.

Ketika ditanya apakah ia memiliki saran bagi mereka yang masih lebih beruntung karena memiliki pasangan yang masih hidup, Chan hanya menjawab, "Berlaku baik, selalu jujur dan saling menghormati."

Kehidupan pasti akan berakhir, tapi cinta sejati akan selalu hidup selamanya.


Dapatkan artikel terbaru:
*Konfirmasi link akan segera dikirim melalui email Anda*
Tentang Blog: Ada Tanya
Artikel "Ketika Cinta tak mampu Terhapus oleh Maut", diterjemahkan atau ditulis ulang oleh admin blog Ada Tanya dari berbagai sumber. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan serta pengetahuan Anda. Dan jika Anda tertarik dengan postingan di atas, dimohon untuk tak lupa mencantumkan juga nama blog Ada Tanya sebagai sumbernya. Thank's
« Sebelumnya
« Postingan Sebelumnya
Berikutnya »
Postingan Berikutnya »

0 Tanggapan untuk "Ketika Cinta tak mampu Terhapus oleh Maut"

Post a Comment